Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Agresi militer Belanda I diawali oleh perselisihan Indonesia dan Belanda akibat perbedaan penafsiran terhadap ketentuan hasil Perundingan Linggarjati. Pihak Belanda cenderung menempatkan Indonesia sebagai negara persekmakmuran dengan Belanda sebagai negara induk. Sebaliknya, pihak Indonesia tetap teguh mempertahankan kedaulatannya, lepas dari Belanda.
Di tengah-tengah upaya mencari kesepakatan dalam pelaksanaan isi Persetujuan Linggarjati Belanda terus melakukan tindakan yang bertentangan dengan isi Persetujuan Linggarjati. Di samping mensponsori pembentukan pemerintahan boneka, Belanda juga terus memasukkan kekuatan tentaranya. Belanda pada tanggal 27 Mei 1947 mengirim nota ultimatum yang isinya antara lain sebagai berikut.
- Pembentukan Pemerintahan Federal Sementara (Pemerintahan Darurat) secara bersama.
- Pembentukan Dewan Urusan Luar Negeri.
- Dewan Urusan Luar Negeri, bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor, impor, dan devisa
- Pembentukan Pasukan Keamanan dan Ketertiban Bersama (gendarmerie), Pembentukan Pasukan Gabungan ini termasuk juga di wilayah RI.
Pada tanggal 21 Juli 1947 tengah malam, pihak Belanda melancarkan ‘aksi polisional’ mereka yang pertama. Aksi ini disebut aksi polisional karena aksi militer setempat yang dilakukan tentara pemerintah tanpa adanya pemberitahuan secara resmi terhadap orang atau kelompok yang dinilai melanggar keamanan dan ketertiban internasional.
Pasukan-pasukan Belanda bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur sehingga Belanda menguasai semua pelabuhan di Jawa. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak dan batu bara di sekitar Palembang dan Padang diamankan. Pasukan-pasukan Republik bergerak mundur dalam kebingungan dan menghancurkan apa saja yang dapat mereka hancurkan.
Pasukan-pasukan Belanda bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur sehingga Belanda menguasai semua pelabuhan di Jawa. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak dan batu bara di sekitar Palembang dan Padang diamankan. Pasukan-pasukan Republik bergerak mundur dalam kebingungan dan menghancurkan apa saja yang dapat mereka hancurkan.
Pada tanggal 30 Juli 1947, India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah Indonesia-Belanda dimasukan dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Pada Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah pihak dan mulai berlaku sejak tanggal 4 Agustus 1947.
Untuk mengawasi gencatan senjata Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Konsuler yang diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan beranggotakan Konsul Jenderal Cina, Belgia, Perancis, Inggris dan Australia.
Tanggal 3 Agustus 1947 Belanda menerima resolusi DK (Dewan Keamanan) PBB dan memerintahkan kepada Van Mook untuk menghentikan tembak menembak. Pelaksanaannya dimulai tanggal 4 Agustus 1947. Tanggal 14 Agustus 1947, dibuka sidang DK PBB. Dari Indonesia hadir, antara lain Sutan Syahrir. yang menegaskan bahwa untuk mengakhiri berbagai pelanggaran dan menghentikan pertempuran, perlu dibentuk Komisi Pengawas
Komisi Tiga Negara
Pada tanggal 25 Agustus 1947, DK PBB menerima usul Amerika Serikat tentang pembentukan suatu Commitee of Good Offices (Komisi Jasa-jasa Baik) atau Komisi Tiga Negara (KTN). Namun komisi ini Komisi resmi terbentuk tanggal 18 September 1947. Belanda menunjuk Belgia sebagai anggota, sedangkan Indonesia memilih Australia. Kemudian Belanda dan Indonesia memilih negara pihak ketiga, yakni Amerika.
Australia dipimpin oleh Richard Kirby, Belgia dipimpin oleh Paul Van Zeelland dan Amerika Serikat dipimpin oleh Dr. Frank Graham. Tugas Komisi Tiga Negara ini antara lain :
- Menguasai dengan cara langsung penghentian tembak menembak sesuai dengan resolusi PBB
- Menjadi penengah konflik antara Indonesia serta Belanda.
- Memasang patok-patok wilayah status quo yang dibantu oleh TNI
- Mempertemukan kembali Indonesia serta Belanda dalam Perundingan Renville.
Pada tanggal 29 Agustus 1947, secara sepihak Van Mook memproklamasikan garis demarkasi Van Mook yaitu wilayah RI lebih sedikit dari sepertiga wilayah Jawa, yakni wilayah Jawa Tengah bagian timur, dikurangi pelabuhan-pelabuhan dan perairan laut.
Dampak Agresi Militer I
Akibat yang ditimbulkan oleh Agresi Militer I antara lain adalah Belanda yang menginginkan supaya masalah Indonesia dianggap sebagai suatu persoalan dalam negeri antara Belanda dan jajahannya, telah gagal, dan masalah Indonesia-Belanda menjadi menjadi masalah internasional. Kedudukan Republik Indonesia menjadi sejajar dengan kedudukan negara Belanda dalam pandangan dunia umumnya. Hal tersebut tentunya sangat menguntungkan Indonesia.