Selasa, 28 April 2020

Pertemuan 5 Estetika Dalam Arsitektur

Pertemuan 5

Estetika Dalam Arsitektur


Estetika berasal dari kata Yunani – Aesthetica- yaitu penyerapan indera, atau dapat dikatakan sebagai hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindra. Semula pada zaman Yunani kuno, estetika merupakan salah satu cabang filsafat. Perkembangannya kemudian membuat estetika tidak lagi hanya bercorak filsafat tetapi sudah sangat ilmiah.

Estetika tidak lagi hanya membicarakan keindahan saja tetapi sudah meluas meliputi seni dan pengalaman estetis. Bagan pembagian estetika secara umum adalah seperti berikut ini:

Estetika Sebagai Gugus Pengetahuan

















Kritik seni
Sebagai penerapan

Dalam estetika modern lebih banyak dibicarakan tentang seni dan pengalaman estetis yang merupakan gejala nyata dan dapat ditelaah dengan cara empiris dan sistematik. Keindahan sebagai nilai estetika kemudian dianggap tidak mempunyai satu jawaban yang benar.



Pendapat yang sangat berpengaruh dan saling bertentangan perihal pengungkapan keindahan adalah teori obyektif dan teori subyektif.

Teori obyektif
Teori ini berpendapat bahwa keindahan adalah sifat (kualitas) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari pengamatannya. Ciri yang yang memberi  keindahan itu adalah perimbangan antara bagian-bagian pada benda indah itu, sehingga azas-azas tertentu mengenai bentuk terpenuhi.

Teori Subyektif
Teori ini mengemukakan bahwa keindahan hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati benda itu. Jadi sangat tergantung pada penyerapan (persepsi) pengamat menyatakan sesuatu benda itu indah atau tidak.

Bangsa Yunani sangat peka pada keindahan obyektif seperti terlihat pada karya-karya zaman yunani kuno. Teori  agung tentang keindahan (The Great Theory of Beauty) suatu istilah yang dikemukakan oleh Wladyslaw Tatarkiewicz terlihat pada penerapan matematis arsitektur Yunani.

Dikenal perbandingan keemasan (Golden Ratio/ Golden Section) dengan proporsi  3 : 5 sebagai perbandingan yang menyenangkan untuk dilihat. Bangsa Yunani membuat angka perbandingan itu dari lambang persaudaraan  Mahzab Pythagoras  yaitu pentagram, bintang berujung 5 (lima). Lambang tersebut juga disebut sebagai lambang kesehatan, karena dianggap menemukan proporsi sebagai kunci keindahan dan digambarkan sebagai perimbangan garis-garis.

Rumus perbandingan itu ditemukan sebagai berikut :
1.    Garis AB
2.    Tarik BD tegak lurus AB.  Tinggi BD =  ½ AB
3.    Tentukan DE = ½ AB pada AD
4.    Tentukan AC = AE pada AB
5.    Diperoleh persamaan  sebagai berikut  BC : AC = AC : AB atau a:b = b:(a+b) atau dalam angka menjadi  3 : 5 atau  1 : 1,6
                                                       
                                   D                            AB/2


                                                                                  E
                             AB/2


                                    B                                                                                           A
                                                                                   C
                                                               a                                      b


Namun tokoh arsitek pada masa modern Le Corbusier, mengenalkan estetika lebih kepada pendekatan fungsional, namun berpijak pada teori obyektif.  Le Corbusier menjelaskan estetika lewat system modular. Baginya segala sesuatu yang terukur dan berulang akan menampilkan estetika dari sudut yang lebih modern dan dapat bersesuaian dengan material bahan bangunan. Sehingga estetika lebih didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan ekonomis.


(gambar)


Di Indonesia sebelum masuknya pengaruh Barat kaidah perbandingan ini tidak dijumpai. Di daerah tertentu, karena paham keterikatan sebagai bagian dari alam semesta seperti dijelaskan pada tahap mistis, semua ukuran berdasarkan ukuran atau kelipatan bagian badan penghuni milik rumah. Dengan demikian ukuran estetis pada bangunan tradisional tidak dapat menggunakan kaidah tersebut. Bali menggunakan hasta kosala kosali untuk membuat mikrokosmosnya. Di Jawa Tengah ada ukuran cengkal baladewa. Di Sumatra Utara dikenal ukuran Dopa yang diambil dari ukuran organ tubuh manusia.

Disamping itu, pada arsitektur tradisional, keindahan lebih diukur dari ketepatan pencerminan tanggapan terhadap lingkungan alam (ekosistem dan social system) pada zamannya serta ketepatan simbolik-simbolik yang ingin diungkapkan.

 Selanjutnya perkembangan setelah masuknya pengaruh barat disertai dengan penerapan kaidah-kaidah estetis pada bangunan-bangunan baru. Meskipun mungkin tidak seluruh kaidah dipakai tetapi kita dapat melihat pemikiran barat mengolah karyanya untuk mencapai keindahan seperti halnya yang dirumuskan oleh  De Witt H. Parker (1920) dalam  menyusun teori ciri-ciri bentuk estetika (dalam pandangan obyektif).  Menurutnya ada 6 (enam) azas yang menjadi ciri bentuk estetis yaitu :
1.    Azas kesatuan  (The principle of organic unity) atau keanekaan (unity in variety). Setiap karya yang indah mengandung hanya unsure-unsur yang perludan saling mempunyai hubungan timbal balik.,
2.    Azas Tema (The principle of theme). Terdapat satu atau beberapa peran utama baik berupa bentuk, warna, pola, irama, tokoh atau makna sebagai titik pusat nilai dan pemahaman orang terhadap karya itu.
3.    Azas variasi menurut tema (The principle of thematic variation). Tema  harus disemprnakan dan diungkapkan dalam berbagai variasi agar tidak membosankan.
4.    Azas keseimbangan (the principle of balance). Keseimbangan dicapai dengan kesamaan dari unsure-unsur yang berlawanan saling memerlukan untuk menciptakan keutuhan/bulat.
5.    Azas perkembangan (The principle of evolution). Makna yang menyeluruh dicapai dengan kesatuan dari proses bagian awal yang menentukan bagian-bagian selanjutnya.
6.    Azas tata-jenjang (the principle of hierarchy). Perlu satu unsur yang memegang kedudukan memimpin (unsur utama) sementara yang lainnya bertindak sebagai pendukungnya.

Pada tataran obyektif, pada umumnya pengertian estetis selalu dikaitkan dengan factor-faktor pada sebuah karya yang menimbulkan efek estetis yang diterapkan pada karya arsitektur. Bagan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

Tata Ruang :
•    Kesatuan (unity)
•    Perbedaan (contrast)
•    Perbandingan (proportion)
•    Skala (scale)

Tata letak (komposisi) :
•    Keseimbangan (balance)
•    Irama (rhythm)
•    Urutan (sequence)
•    Klimaks (climax)
•    Setangkup (symmetry)
•    Penekanan (accentuation)

Namun untuk mewujudkan nilai estetis dari tata ruang maupun tata letak (komposisi) masih ada unsur-unsur lainnya, yaitu diperlukannya unsur garis, bentuk, warna, tekstur, struktur, masa dan ruang.