Rabu, 08 Januari 2020

Literasi: Cinta yang Membawa Sepatu Mendunia

Kabid Dikdas
Sebagai seorang anak perempuan, sejak kecil Niluh sangat tertarik pada berbagai ragam sepatu. Namun ukuran kakinya yang sangat kecil membuat ia selalu kesulitan mencari ukuran sepatu yang pas. Apalagi ibunya harus membesarkan Niluh seorang diri, sehingga sepatu sama sekali tidak menjadi prioritas jika dibandingkan dengan kebutuhan makan, bersekolah dan kesehatan. “Aku sering harus mengganjal sepatuku dengan kain, karena ukurannya dua atau tiga kali lebih besar,” cerita Niluh tentang masa kecilnya.

Pengalaman ditambah kecintaannya pada sepatu itulah yang membuat ‘Niluh kecil’ berangan-angan, bahwa jika ia besar kelak, ia akan membuat sendiri sepatu-sepatu yang pas untuk kakinya. Dengan demikian, harganya tidak terlalu mahal dan ukurannya pasti tepat! Perjalanan kehidupan Niluh membawanya merantau ke berbagai tempat. Jakarta dan New York sempat ia tinggali untuk bersekolah dan berkarir. Sepanjang waktu itu, ia tetap membawa angan-angan dan rasa cintanya terhadap sepatu. Ketika akhirnya menikah dan memutuskan untuk menetap di Bali, mulailah Niluh focus mendesain sepatu-sepatu cantik berbahan dasar kulit. Ia menamakan produknya ‘Nilou’, yang sebetulnya merupakan pelafalan nama Niluh jika diucapkan oleh orang asing, pelanggannya.

Ciri khas produk Nilou adalah semuanya dikerjakan dengan tangan, untuk menjaga kualitas. Walaupun Niluh memiliki beberapa tukang sepatu yang bekerja untuknya, tapi ia turun langsung untuk terlibat dalam proses pembuatan sepatu-sepatu Nilou. Satu tukang bertanggung jawab menyelesaikan sepasang sepatu, dari memotong, menjahit sampai membentuk sepatu. Akibat pekerjaan yang fokus ini, tak jarang dalam satu hari, satu tukang hanya bisa menyelesaikan sepasang sepatu.

“Memang lama sekali prosesnya, tapi kami puas, karena bisa menjaga kualitas.”

Ketika dipasarkan, di luar dugaan koleksi pertama Nilou langsung sukses menembus pasar sepatu di Perancis. Pesanan pun membanjir. Hingga 4.000 pasang. Pada tahun 2004, Ni Luh mendapatkan kontrak outsource dari jaringan ritel Topshop yang berpusat di Inggris. Pintu perdagangan ke Eropa kian terbuka lebar.

Di tahun yang sama, Nilou mendapat tawaran dari seorang warga Negara Australia yang berminat menjadi distributor di Negeri Kanguru.

Nilou semakin tenar. Sepatu ‘Made in Bali’ ini dipajang di ratusan etalase di 20 negara di dunia. Jika pada awalnya Niluh hanya mampu memproduksi 3 pasang sepatu dalam sebulan, setelah merambah ke pasar dunia, Nilou memiliki kapasitas produksi hingga 200 pasang sepatu per bulan. Berawal dari dua karyawan tukang sepatu, sekarang Nilou dibantu oleh 22 karyawan dan 3 asisten kepercayaan. Jika toko pertamanya berukuran sempit, bernuansa kusam, dan berdinding anyaman bambu, maka Nilou telah berkembang pesat, dengan 36 butik di 20 negara.

Pada tahun 2007, di tengah kesuksesannya, Niluh mendapat tawaran dari agen di Australia dan Perancis untuk melebarkan sayap. Mereka meminta peluang kerja sama untuk memproduksi Nilou secara massal di Cina dengan iming-iming sejumlah besar saham.

Dengan tegas, Niluh menolak tawaran itu. Dia tak ingin cintanya yang melekat setiap pasang sepatu yang dihasilkan dari workshop-nya tergantikan oleh mesin yang membuat ribuan sepatu yang sama persis, satu dengan lainnya. “Saya tak mau apa yang dibina dari nol dan dibentuk dari kecintaan saya serta tukang-tukang pengrajin, dibawa ke luar negeri. Berkah dari kecintaan saya ini adalah titipan Tuhan yang harus saya kembalikan kepada para pengrajin dan negara saya,” kilas Niluh.

Namun, yang terjadi setelah itu bagaikan pil pahit. Label Nilou yang sudah mendunia ternyata didaftarkan pihak lain. Hubungan usaha Niluh dengan rekan-rekan di dunia internasional pecah.

“Mereka tetap jalan dengan mass production bermerek Nilou, berbasis di Cina,” ujar Niluh. Hal terberat harus dilakukan oleh Niluh, yakni menghapus Nilou, merek yang lahir dan tumbuh dari cintanya.
Niluh kembali ke belakang layar dengan berkonsentrasi memproduksi sepatu untuk desainer asing. “Berat? Sudah pasti. Namun saya yakin bahwa yang saya bunuh adalah sekedar merek, bukan cinta saya. Mesin jahit tetap jalan, para pengrajin tetap bisa berkarya bersama saya, itu hal terpenting buat saya. Hal lain bisa diperjuangkan”.

Cinta dan semangat juang Niluh membawanya cepat bangkit. Pada awal tahun 2008, ia memulai lagi usahanya dengan memproduksi sepatu bermerek “Niluh Djelantik”, yang langsung dipatenkan untuk menghindari masalah yang lama terulang. Sekarang, merek Niluh Djelantik sudah berkibar kencang di dunia, bahkan di kalangan para selebriti.

Atas kerja kerasnya, Niluh meraih Best Fashion Brand & Designer The Yak Awards in 2010. Dinominasikan sebagai Ernst & Young for Ernst & Young Entrepreneurial Winning Women 2012 Awards. Sebagai persembahan bagi pecinta sepatu, Niluh membuka butik Niluh Djelantik seluas 250 meter persegi di Bali pada pertengahan Maret 2012.

Kisah jatuh bangun dalam kecintaannya pada sepatu, tak pernah dikubur oleh Niluh. Ia tak pernah menyesali keputusan menolak produksi massal dan menghapus merek Nilou. Keputusan yang diambilnya berat, karena memiliki dua kemungkinan konsekuensi, yakni bangkrut karena melawan perusahaan yang lebih besar atau justru berhasil.
“Keberhasilan, bagi saya ukurannya tidak harus berwujud uang. Bukan juga ketenaran. Ketika saya tetap bisa mempertahankan rasa cinta saya dalam tiap produk yang saya hasilkan; ketika saya bisa memberdayakan para pengrajin, membuat mereka merasa senang atas apa yang mereka kerjakan dan menumbuhkan rasa cinta juga di hati mereka atas karya yang mereka hasilkan; itulah keberhasilan yang luar biasa nikmatnya bagi saya. Bonusnya adalah, ketika mendengar orang-orang mempromosikan kenyamanan sepatu Niluh Djelantik,” ujarnya menginspirasi.

Dirangkum dari berbagai sumber
[Hanni Darwanti]